Lubang Hitam Penghisap Kebahagiaan
Pacar barumu duduk di meja kedai kopi paling ujung, menyesap segelas matcha panas dengan separuh rambut dihilangkan. Dicukur setengah, tampaknya. Entah mengikuti tren baru, preferensi pribadi, atau alasan lebih mencekam seperti vonis mati dari penyakit yang belum ditemukan obatnya.
Aku mengambil tempat tiga meja dari tempat ia duduk, bertemankan sepotong kue keju dan jus stroberi yang sisa seperempat gelas. Menyilangkan kaki dan tangan, bersikap seolah-olah sedang menunggu teman kencan yang terlambat lebih dari setengah jam. Ponselku tergeletak di atas meja, layarnya hidup dan mati karena notifikasi pesan yang masuk bertubi-tubi.
Omong-omong, aku tidak sedang menguntit. Terserah kau mau percaya atau tidak. Ini kedai kopi langgananku—selalu kukunjungi paling tidak sekali seminggu. Petugas kasir yang berjaga di shift sore sudah hafal pesananku dan selalu menanyakan kabar kucing peliharaanku. Omong-omong lagi, kucing yang dimaksud adalah yang kau telantarkan di rumahku tiga tahun lalu setelah kita putus. Kalau-kalau kau lupa, mari kuingatkan kembali. Bulunya oranye, ekornya tebal. Dia tidak suka mengeong—hanya diam memandangi siapa pun yang menghalangi jalannya kemudian berputar untuk mencari jalan yang lain. Dia kucing yang cerdas, meski aku tahu kau menganggapnya membosankan. Tidak manis, susah diganggu, dan jarang bermanja-manja.
(Seperti aku, kalau-kalau kau juga lupa. Bukankah itu alasanmu putus denganku waktu itu?)
Aku sudah duduk di sini selama empat puluh menit, kurang lebih. Lima belas menit duduk dalam hening, asyik menyantap kue kering dan memandangi jalanan di balik dinding kaca bening. Tiga puluh menit sisanya terpaku pada sosok pacar barumu yang—sama sepertiku—masih tak beranjak terlepas dari bergulirnya waktu.
Jika boleh kukatakan (lagipula apa peduliku soal apa yang akan kau pikirkan), dia tak nampak bahagia. Keningnya berkerut, garis mulutnya sendu. Tidak tampak seperti seseorang yang dilimpahi banyak cinta. Aku tak heran. Lagipula, dia memilih kau. Itu mungkin pilihan terburuk yang pernah diambilnya seumur hidup.
Mungkin, bila aku punya waktu, aku akan mengais-ngais isi kardus di sudut gudangku. Aku yakin akan kutemukan selembar foto, diambil oleh salah satu temanku empat tahun yang lalu—tepat setelah ulang tahunku. Bukan di kafe, tapi di sebuah restoran tempat ia bekerja paruh waktu saat itu. Aku ingat dia bilang ingin mengejutkanku, tapi hasil fotonya, meski estetik, tak menggambarkan apa yang ia kenal dariku. Bahkan, saking tidak percayanya dengan sosokku yang terekam dalam lembar foto itu, temanku tidak berani memberikannya padaku—sampai akhirnya dia mendengar kabar tentang putusnya kita.
Enam hari setelah kau pergi—yang ini aku ingat persis. Aku berbaring miring di atas tempat tidur, dengan tangan kiriku memegang selembar foto menyedihkan itu. Rambutku dalam foto itu rapi disanggul, berhias jepit bunga merah muda yang kau bilang cocok untukku. Sosokku duduk dengan dagu dipangku, menatap gulir jarum jam yang dipasang tepat di seberang mejaku. Aku sedang menunggu. Dan menunggu. Dan menunggu.
(Persis seperti pacar barumu.)
Hingga pukul sepuluh, kau yang kutunggu tidak juga muncul. Tak ada pesan yang kuterima. Bahkan tak ada permintaan maaf darimu beberapa hari kemudian, saat kita bertemu lagi di peron kereta sepulang dari kantor. Dengan santainya kau cium pipiku, kau gandeng tanganku, dan kau ocehkan cerita tentang menu makan malam mewah yang kau nikmati beberapa hari lalu. Kau antar aku sampai di rumah, kemudian sekali lagi mengecup pipi sebagai salam perpisahan.
Mungkin di sanalah permulaannya. Mungkin sesungguhnya temanku tidak sepenuhnya benar. Bahwa yang terekam dalam foto itu bukanlah masa-masa terpurukku, tetapi awal dari kesadaranku. Kau kira kau meninggalkanku dengan seekor kucing pemarah yang tidak mau disentuh, tetapi mungkin saja—aku sekarang yakin aku benar—justru aku yang mendapatkan kembali hidupku dan menyingkirkan lubang hitam penghisap kebahagiaan yang menjadi perisai kepribadian tak menyenangkanmu.
Sragen, 1 Juni 2025
Komentar