Dua Orang di dalam Satu Badan

Kujahit inisialku pada bahu jaket kesayanganmu dengan benang putih, melingkar meliuk seperti kepak sayap camar di atas laut berbuih. Bunga merah mekar di atas huruf yang paling tinggi, bintang kecil terselip di salah satu kelopak mungil, kerlipnya memanggil.

Kugantung jaket itu di belakang pintu, kusemprot parfum, kutinggalkan pesan di atas meja kayu. Padamu aku menulis, Pakai ini saat kita pergi ke dokter gigi, lengkap dengan ilustrasi mungil di sisi kanan agar kau mudah mengerti.

Kamarmu kutinggal pergi. Kuncinya masih tergantung di bawah kenop besi. Kukenakan sepatu yang kau simpan di samping pintu garasi. Talinya tak ada, hilang entah ke mana. Mungkin saja terselip di sela-sela laci dan sampai sekarang kau terlalu malas untuk mencari. Sebagai gantinya, aku memakai pita merah muda yang kau beli di warung samping rel kereta api.

Ponselmu mati, kusimpan di saku belakang celana. Saat aku berjalan ke stasiun nanti, adakah mata pencopet yang akan menyala lapar? Tak masalah, tak masalah. Seperti biasa, kita satu benak. Begitu kau kembali nanti, nyalakan lagi saja sinyalnya. Kunci sandi sengaja kusimpan dalam memori bersama. Hanya perlu sedikit usaha untuk menemukannya.

Aku tidak berniat untuk berlama-lama. Tepat di seberang jalan, tujuanku sudah nampak. Tinggal menyeberang, dan selebihnya sudah beda urusan. Aku akan menghilang, sungguh hanya untuk beberapa bulan. Lagipula, kita ada janji untuk pergi ke Singapura, kan? Tanggalnya sudah kucatat di buku harian. Karena tiap malam kau rajin membukanya, tak mungkin tak akan kau lihat.

Ah, angkatlah kepala—di sana pacarmu sudah berdiri. Pria tampan, sedikit lebih tinggi dari tujuh puluh inci. Dua tangannya di saku, matanya masih belum menemukanku. Di tengah arus manusia yang lalu-lalang keluar-masuk gerbong kereta api, keberadaannya seperti magnet sama sisi. Ada ruang kosong di kanan dan kiri, orang-orang bergerak dan berusaha tak saling mengusik. Tapi untukmu, hanya dia yang bisa menarik perhatianmu, bukan begitu?

Kulambaikan tangan, kuserukan namanya. Lihat bagaimana senyumnya merekah, menyambut persona yang belum muncul ke permukaan. Ah, sayang, bersabarlah sebentar. Aku tidak mau berpisah sebelum setidaknya saling berjabat tangan.

Tangannya hangat, sedikit kasar dan berkeringat. Senyumnya masih lebar, terpaku pada identitas yang kurengkuh sementara. Suaranya rendah, hampir terdengar senang saat menyapa, “—lebih awal, Jenna.”

Di sana pemicunya, aku yakin. Bisa kurasakan kau bergerak, merebut kembali badan yang sudah berhari-hari aku tinggali. Namamu, yang bukan milikku, selalu menjadi terompet kematian untuk keberadaanku yang tidak utuh.

Kali ini, aku yang harus bersabar. Tapi tak apa. Aku tidak perlu menunggu terlalu lama. Tanggal di buku harian, kau ingat? Mau tidak mau, kau akan pergi dan ke sana aku akan mengikuti.

Di tempat tujuan kita nanti, di tempat tidak ada orang-orang yang kau kenali, badan ini akan jadi milikku kembali. Rasanya asyik membayangkan petugas imigrasi yang akan menatap foto kita berdua dan tidak menyadari ada dua orang di dalam satu badan.

Untuk sekarang, nikmati saja kencan dengan pacarmu yang tampan. Memang bukan yang terakhir kali, tapi satu dari hal-hal terakhir yang bisa kau nikmati.

Jenna sayang, Jenna-ku yang rupawan, Jenna-ku yang penuh kasih sayang. Aku tidak sedang mengancam, jangan merasa ketakutan. Apa yang baik untukku juga adalah yang baik untukmu. Hanya saja, semuanya masih kurahasiakan. Jadi, alihkan pandangan—fokus saja pada pria yang tampaknya ingin mengajakmu bergandengan tangan.

Masuklah ke kereta, cari tempat duduk yang nyaman, dan mengobrollah kalian berdua sampai ke stasiun berikutnya. Kemudian beli makan malam, bercakap sedikit lebih lama, lalu pergilah berputar-putar di alun-alun kota.

Ketika bulan makin terang dan lambaian tangannya mengisyaratkan akhir dari kencan, barulah kau bisa bertanya padaku. Aku tidak janji akan menjawab, toh untuk sementara badan itu masih milikmu. Tapi ingatkan pada dirimu satu hal.

Seberapa pun menyebalkannya aku, seberapa pun membingungkannya keberadaanku dalam hidupmu, aku hadir hanya untukmu.

Sragen, 5 Mei 2025

Komentar

Adsterra

Postingan Populer